Senin, 04 Mei 2009

Tender bwa = tender last mile masa mendatang ?

Tender bwa = tender last mile masa mendatang ?


Dahulu, masa masa awal isp ada, penyelenggara dapat berkonsentrasi pada kualitas bandwith, layanan tambahan seperti email, hosting, web design, internet marketing, billing system, dan lain sebagainya. Termasuk didalam nya branding, marketing, bahkan sampai packaging starter pack.

Itu saat masa last mile isp menggunakan jaringan kabel tembaga milik operator kabel tembaga.


Menjadi masalah pertama ketika pemilik jaringan kabel, mulai masuk ke bisnis jasa internet sendiri. Isp mulai menderita, karena pemilik jaringan kadang tidak menghitung komponen biaya jaringan nya.


Gegap gempitanya bangunan jaringan seluler pun, menelorkan teknologi packet data, mulai gprs sampai 3g, yang di selenggarakan oleh operator itu sendiri. Isp yang bekerja sama dengan nya pun diberikan fasilitas yang tidak lebih baik dari operator penyelenggara dalam ikut bermain dalam jasa internet.


Akhirnya dipikirkan adanya last mile mandiri, swadaya, dan digunakan wireless, 2,4 Ghz, teknologi yang masih prematur, hanya ada beberapa kanal, yang diperebutkan banyak isp, terjadi persaingan kanal, rebut2an, interferens, bahkan perang amplifier, menimbulkan carut marut baru bagi perkembangan internet di Indonesia. Regulator pun menganggap bahwasanya jika operator seluler dalam ijin kanal nya memberikan pendapatan yang menarik selain pajak, maka mulai di atur pula frekwensi selain 2,4 ghz utk dipungut biaya. Walaupun teknologi 2,4 semakin maju, banyak kanal yang bisa dipakai oleh perangkat baru, tetap saja resiko dan biaya yang dikeluarkan tidak dapat menjangkau seluruh potensi pasar.


Isp yang menderita pun tidak kuasa menerapkan standard keamanan kerja, karena budgeting yang terbatas. Maka pipa pun dipanjat, ( karena wireless lan diharuskan line of sight ) tidak kurang tenaga teknis yang jatuh, patah tulang, cacat, tersetrum listrik, bahkan sampai merenggut jiwa. Karena standard keamanan instalasi seperti oerator seluler tidak dapat diterapkan di bisnis isp, dikarenakan pengguna internet tidak sebanyak pengguna seluler, skala ekonominya tidak sampai, tentu saja disebabkan internet di indonesia memang belum matang, sosialisasinya belum sampai ke seluruh komponen masyarakat.


Carut marut diatas, ditunjang oleh makin banyak nya persaingan, tumbuhnya tidak terkontrol isp isp baru, makin melupakan penyelenggara internet untuk kembali ke khittah awal, inti sari sebagai “jasa” “service” seperti awal awal berdirinya.


Sudah lupa kita akan packaging starter pack, sudah lupa kita akan domain, hosting, web design, internet marketing, content dan lain nya.

Penyelenggara sekarang menjadi se akan pedagang beras, yang penting menyalurkan distribusi bandwith secepat cepat nya, perang harga, sikut2an, banting2an dan lain sebagainya.


Regulator pun tidak membantu, bahkan menganggap isp yang menderita ini tetap ada komponen uang yang dapat dipungut. Teknologi di dunia, dari barat, timur, dari amerika, eropa sampai rusia latvia, sudah memproduksi perangkat radio dari 2,3 ghz sampai 2,7 ghz, dari 4,9 ghz sampai 6,1 ghz, bahkan 3,2 ghz sampai 3,7 ghz. Semua dengan harga terjangkau. Itupun dengan kanal yang sedemikian banyak nya, yang saking banyak nya jikapun tidak diatur dan ditentukan regulasi pungutan kanal nya, penyelenggara isp pun masih dapat berjalan dengan baik, masih jauh dari berebutan tempat. Tapi....semua tak berguna...karena ada regulasi yang menghalangi... hanya 2400 sampai 2487 yang dibiarkan tanpa pungutan.


Beberapa pelaku industri berusaha masuk ke jaringan kabel sendiri, mulai coaxial catv, hfc sampai yang terbaru fibre optic. Regulator pun memungut kewajiban jartup, runyam nya pemerintah kota, pemerintah propinsi, pemilik tanah land lord, memungut pula jasa lewatan kabel ini. Akhirnya hanya operator besar voice yang bermain dalam wilayah ini ( sembari menjual kanal data nya )


Sekarang di dunia ditemukan teknologi baru, jika wavelan harus line of sight, maka wimax, diberitakan tidak. Sebuah harapan baru bagi penyelenggara jasa internet.


Sayangnya Regulator menganggap ini sebuah kesempatan baru pula untuk mendapatkan pungutan baru.


Maka wimax pun diatur, kanal nya di tenderkan, alokasi tempat nya pun ditetapkan. Dan diupayakan sebuah mekanisme, hanya penyelenggara besar yang dimungkinkan ikut.


Pelaku industri mengadakan konsorsium, arisan budaya timur, berusaha ikut dan dijinkan ikut, semoga berhasil.


Masalahnya, jika jaringan copper tembaga, isp tidak mendapat keadilan, jaringan seluler tidak mendapat ke adilan, jaringan kabel tidak mendapat ke adilan, adakah ratu adil dalam bwa wimax ini?


Semoga....